Jembatan Asmara

- Senin, 5 Juni 2023 | 00:19 WIB
-
-

PERHATIAN warga tersedot ke Jembatan Sambaliung. Usianya 35 tahun (belum tuha banar), harus menjalani perbaikan. Akan dimulai,  wargapun bereaksi. Jembatan itu harus ditutup dan tak bisa dilalui kendaraan.

Sibuklah dengan angkutan pengganti. Pilihannya, lewat kapal kayu atau LCT. Dua lokasi yang berjauhan untuk mobil dan motor. Di sekitar lokasi penyeberangan itu, terjadi penumpukan kendaraan. Menunggu antrean. Baik dari arah Sambaliung maupun dari Tanjung Redeb.

Tak kalah serunya, antrean mobil yang memanjang hingga ke Jalan Diponegoro dan Jalan Murjani III. Pemandangan yang baru pertama kali terlihat. Situasi seperti ini yang jadi wilayah tanggungjawab kabupaten.

Yang berkumpul di sekitar dermaga wisata, tidak semuanya mau menyeberang. Banyak yang datang hanya nonton. Seperti ada sebuah pertunjukan. Ada yang datang, hanya sekadar menyoroti dermaga yang kata mereka rawan. Ada pula yang datang, hanya untuk sebuah konten.

Dari kejauhan, jembatan terlihat jejeran kendaraan ke arah Sambaliung. Padahal, katanya jembatan akan ditutup. Ada antrean panjang. Kendaraan itu terhenti, tidak selancar biasanya.

Saya termasuk yang sibuk melihat fenomena itu. Kenapa harus datang, kalau hanya sekadar jadi penonton. Ada riak gelombang protes. Ada prosesi adat. Ada yang kesarungan Jembatan Sambaliung, menurut banyak orang, menyimpan cerita mistis.

Sibuk-sibuknya warga diduga tidak akan lama, dan semua akan berjalan normal. Banyak yang shock memang. Terutama Pemkab yang dinilai tidak siap. Setahu saya, pemkab justru pusing memikirkan persoalan sosialnya.

Perbaikan jembatan itu proyek provinsi. Dengan begitu, semua yang terkait dengan perbaikan itu, sepenuhnya menjadi tanggungjawab provinsi pula. Mulai dari penutupan, penyedian angkutan pengganti dan semua infrastrukturnya.

Peran Pemkab dimana dong? Pemkab hanya memberikan dukungan moril. Bagaimana mengatur mekanime alur kendaraan. Bagaimana memberikan penjelasan kepada masyarakat. Dan, memberikan dukungan bila ada hal-hal yang terjadi selama proses pengerjaan jembatan. Semisal ada yang sakit.

Kasihan juga. Pimpinan daerah ditarik-tarik, memasuki wilayah yang menjadi tugas provinsi. Pemkab tentu ekstra hati-hati, terutama berkaitan dengan anggaran. Niatnya baik, justru bisa jadi masalah.

Kontraktor berharap progresnya berjalan dengan lancar. Bisa saja, target waktu itu akan lebih cepat selesainya. Mengingat, Jembatan Sambaliung adalah urat nadi. Dampaknya sangat besar dengan berlama-lama mengerjakan. Semua menjadi terganggu.

Di warung mi pangsit di halaman Fresh Mart saya jumpa dengan teman, yang selama ini memasok berbagai kebutuhan. Kami masih pikir-pikir, bagaimana menyiasati pengiriman barang, kata dia. Ia tahu, bersama teman para penyalur kebutuhan, banyak masalah yang perlu mereka temukan jalan keluarnya.

Saya memutar waktu ke belakang. Dalam catatan saya, Jembatan Sambaliung dibangun, dimana saat itu penduduk Berau tak lebih dari 60 ribu jiwa. Konsentrasi penduduk lebih banyak di pesisir.

Sebelum jembatan itu dibuat, hanya ketintinglah satu-satunya sebagai transportasi unggulan warga. Bila ada kegiatan, saya tak pernah ketinggalan untuk hadir. Tapi, harus cepat pulang, khawatir tidak kebagian angkutan perahu ketinting.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Arus Mudik Laut di Samarinda Belum Meningkat

Jumat, 29 Maret 2024 | 20:00 WIB

Bendungan Marangkayu Sudah Lama Dinanti Warga

Jumat, 29 Maret 2024 | 16:45 WIB
X