Bencana Perasaaan

- Kamis, 8 Juni 2023 | 00:33 WIB
-
-

KIRA-KIRA, situasi yang ada sekarang, kita sebut apa daeng? Menanyakan situasi yang ada di dua tempat penyeberangan, pasca ditutupnya Jembatan Sambaliung.

Ada yang bilang ini bencana yang sudah bisa dihitung sebelumnya. Tapi, ada juga yang bilang, ini bukan bencana. Sehingga tidak layak disebut situasi darurat. Dua pandangan ini yang berkembang di warung pojok.

Mungkin karena dianggap bukan bencana, sehingga tak banyak yang mau terlibat. Bahkan, sekadar membeli bahan bakar pun enggan dikeluarkan untuk operasional angkutan miliknya. Khawatir salah langkah.

Saya menyebutnya bencana perasaan. Teman saya ketawa, Ia lalu meluruskan, bukan bencana perasaan, tapi kata dia itu bencana sosial. Kan ada tiga jenis, bencana alam, non alam, dan sosial, kata teman yang merujuk pada aturan Undang-Undang nomor 24 tahun 2007.

Mengapa saya sebut, bencana perasaaan. Salah satu ukuran saya, bahwa hampir semua warga yang akan menggunakan jasa penyeberangan itu menggerutu. Menunggu terlalu lama dalam antrean penuh was-was. Begitupun yang menanti antrean kendaraan mobil yang panjang sekali.

Karena menggerutu, bahkan ada yang sampai siup, sehingga saya sebut saja bencana perasaan. Mungkin samalah maknanya dengan bencana sosial. Karena juga termasuk bencana sosial atau bencana perasaan, kita semua harus ikut terlibat.

Kalau kita bertanya satu persatu warga, jawabannya akan beraneka warna. Mereka yang akan terlambat masuk bekerja, pasti ngomel. Penjual ikan yang khawatir ikannya terlambat tiba di tujuan, juga ngomel. Penjual sayur yang pakai motor, juga khawatir sayurnya akan layu.

Seperti yang dialami Ketua Komisi II DPRD, Pak Andi Amir. Pagi-pagi harus mengantar keluarganya yang akan naik haji. Antrean mobilnya berada di urutan yang jauh. Bila Ia hitung, baru dapat bagian jam 12 malam.

Inisiatiflah dia turun dari mobil dan menuju jembatan, dan jalan kaki menyeberang. Berjalan di antara karyawan yang sedang mengerjakan jembatan. Apa jawaban Pak Andi Amir? Betul-betul kacau, antre berjam-jam, kata dia. Artinya perasaaan gelisahnya dia akibat ikut antre lama.

Hari Senin (6/6), saya berada di dermaga wisata hingga sore hari. Menyaksikan kesibukan angkutan sungai melayani warga yang akan menyeberang. Dari tempat itu, terlihat pula antrean pengendara motor yang campur baur dengan warga, yang akan menggunakan kapal kayu yang bisa mengangkut motor.

Situasi perasaannya pasti sama. Gelisah dan saling mau dulu-duluan naik ke kapal kayu itu. Bahayanya, karena mereka bertumpuk pada titian yang saya pikir punya daya tahan terbatas. Harusnya jangan bertumpuk. Mereka harus berada di belakang pagar besi.

Belum lagi soal muatannya. Memang, jarak tempuhnya hanya beberapa menit menyeberang sungai. Jangan salah, arus Sungai Kelay itu mengerikan. Sangat deras, bisa menghanyutkan kapal bila tak bisa mengendalikan.

Motoris dan penumpang, perasaannya sama. Bedanya, yang menyeberang gelisah dalam antrean, motoris lelah seharian mengemudi bolak-balik. Ini juga perlu perhatian khusus. Bila lelah, konsentrasi bisa terganggu. Motoris harus kondisi fit, Ia mengemudikan kapal berpenumpang manusia.

Armada kecil perahu ketinting mulai ikut dilibatkan. Petugas mulai ikut turun tangan mengatur jumlah penumpang. Mungkin, dihari-hari berikutnya akan lebih baik. Sehingga semua berlangsung lancar.

Halaman:

Editor: uki-Berau Post

Tags

Rekomendasi

Terkini

Jalan Rusak di Siradj Salman Minta Segera Dibenahi

Kamis, 18 April 2024 | 10:00 WIB

Pemotor Terlempar 25 Meter setelah Diseruduk Mobil

Kamis, 18 April 2024 | 07:50 WIB

Pertamina Kirim 18 Ton BBM ke Kutai Barat

Rabu, 17 April 2024 | 18:00 WIB
X