Sandyaga Maulana Bahri sebenarnya sudah mulai menikmati suasana perkemahan saat akhirnya harus dievakuasi bersama semua peserta. Elok Pesona Hayati yang mendaftar sebagai relawan mendapat pengalaman berharga menangani logistik yang selalu kurang.
LAILATUL FITRIANI, Surabaya
TOPAN Khanun yang mengamuk di luar pengungsian tak membuat ciut nyali Sandyaga Maulana Bahri dan regunya. Mereka tetap asyik menampilkan tari poco-poco di hadapan peserta Jambore Pramuka Dunia dari berbagai negara. Tak disangka, semua ternyata ikut turun menari bersama.
”Padahal nggak disuruh, tapi bisa kompak menari bersama teman-teman dari negara lain. Jadi nggak takut dan stres mikirin keadaan saat itu,’’ ungkap Aga, sapaan akrabnya, saat dihubungi Jawa Pos dari Surabaya kemarin (14/8).
Pelajar 14 tahun itu berangkat ke Korea Selatan bersama tim Pramuka dari Labschool Cibubur untuk mewakili Kwarda Jawa Barat. Dia bagian dari kontingen Indonesia yang berjumlah total 1.579 orang ke Jambore Pramuka Dunia di Saemangeum, Korea Selatan (Korsel). Itu menjadi pengalaman perdana jambore dunia yang dia ikuti.
”Awalnya, saya hanya tertarik gara-gara terlihat seru dan gampang. Saat menjalankannya ternyata lebih seru sekaligus lebih susah,’’ ujar pelajar kelas IX itu.
Bagaimana tidak, Aga dan puluhan ribu peserta lain dari 158 negara harus menghadapi beragam kendala. Mulai panas ekstrem sampai ancaman Topan Khanun.
Beberapa kegiatan pun terpaksa dihentikan akibat panas ekstrem. Tak sedikit partisipan bahkan ditarik dari perkemahan dan dipulangkan sebelum acara selesai. Kendati demikian, Aga dan kontingen Indonesia tetap solid bertahan meski panas mencapai 40 derajat Celsius.
”Kita bikin fun aja kayak pas ambil makanan ke tempat logistik sambil bawa gerobak, tapi malah seru mainan gerobak sama teman-teman. Jadi nggak terasa panas dan capeknya,’’ kenang remaja yang tinggal di Depok, Jawa Barat, itu.
Sejak pagi, semua sudah mendapatkan tugas masing-masing. Ada yang memasak. Ada pula yang membuang sampah. Semua dilakukan di tenda. Aga sendiri kebagian menyiapkan makanan untuk sarapan.
Dilanjutkan berbagai aktivitas dari jambore seperti panjat tebing, kegiatan di air. Juga bermain sama teman-teman baru dari negara-negara lain.
Suatu ketika saat cultural day, kontingen Indonesia mengenakan pakaian daerah. Aga memakai baju Minang. Dia dan kawan-kawannya di tenda juga mengenalkan budaya hingga makanan Indonesia.
’’Teman-teman yang cewek bikin soto, yang laki-laki bikin mi goreng instan rasa mi Aceh,’’ tuturnya.
Mereka juga membagikan jajanan dan minuman tradisional seperti dodol, sekoteng, hingga bandrek. ”Orang-orang asing yang mampir ke tenda pada bilang enak,’’ imbuhnya.
Sayang, saat mulai terbiasa dan menikmati keseruan di perkemahan, mereka harus dievakuasi ke Universitas Wonkwang. Sebab, Topan Khanun bergerak menuju lokasi jambore.
Kondisi itu tak hanya membuat cemas mereka yang berada di sana, tetapi juga keluarga di rumah. Tak terkecuali orang tua Aga yang terus menanyakan kabar sejak keberangkatannya.
Namun, momen jauh dari orang tua itulah yang justru membuatnya bisa belajar survive. Menurut Aga, hal itulah yang membuat Pramuka meyenangkan. Tak hanya kegiatannya yang seru, tapi juga jadi lebih mandiri.
”Jambore adalah salah satu masa berkemah terpanjang yang saya ikuti dan harus terpisah sama ortu. Sebelumnya hanya pernah ikut persami (perkemahan Sabtu-Minggu) dan beberapa latihan berkemah untuk jambore,’’ ujarnya.
Jika ini kali pertama Aga mengikuti jambore dunia, lain halnya dengan Elok Pesona Hayati. Perempuan 18 tahun itu disorot setelah videonya nge-dance di jambore Korea tersebar dan viral di media sosial.
Dalam kegiatan random play dance itu, Elok tampak energik dan hafal berbagai koreo lagu-lagu K-pop. Mulai grup BTS, NewJeans, BLACKPINK, hingga Aespa.
”Kemarin itu salah satu kegiatan dan semuanya bisa ikut. Aku ikut aja, tapi bukan penampil,’’ jelasnya saat dihubungi via WhatsApp kemarin (14/8).
Pada jambore dunia kali ini, Elok tak lagi berpartisipasi sebagai peserta. Usianya sudah melewati batas. Namun, dia bergabung sebagai volunteer alias relawan yang mendukung berlangsungnya acara.
”Dulu ikut jambore dunia di Amerika disuruh mama. Sekarang jadi volunteer atas kemauanku sendiri,” ujar mahasiswi semester III yang tengah menempuh pendidikan di Jerman itu.
Elok mendaftarkan diri sebagai relawan di International Service Team (IST). Dia bertugas di divisi program dengan subprogram culture traditional program. Sebagai leader, dia harus datang lebih awal untuk meladeni dan mengecek setiap barang logistik yang tiba.
”Kebetulan kerjaku itu mengenalkan permen dalgona. Termasuk cara membuatnya,’’ ujar perempuan asal Tangerang itu.
Panas ekstrem membuat pekerjaannya selesai lebih awal dari jawdal. Sebab, kegiatan ditiadakan. Beruntung, dia selalu bekerja di bawah tenda.
”Tiap pagi juga selalu dapat minum sama es batu. Cuma, makan siang hanya diberi snack, sedangkan kami juga butuh protein,’’ ungkapnya.
Dia dan tim juga dibuat kelimpungan dengan logistik yang selalu kurang. Sementara itu, mereka dituntut untuk mengakomodasi lebih banyak orang. ”Meski begitu, kemarin sempat nyoba beberapa kegiatan jambore dan itu menyenangkan banget. Paling berkesan bisa kerja sama dengan teman-teman dari berbagai negara,’’ katanya. (*/c6/ttg/sam)