BIASANYA mengabadikan satu nama warung atau rumah makan, dimana warung itu berlokasi. Semisal Coto Makassar pelabuhan teratai. Karena lokasinya berdekatan pelabuhan kapal layar.
Ada juga yang menggunakan nama warung mereka, sesuai dengan nama pemiliknya. Mungkin masih ingat, sate Pak Syukur yang dekat lampu merah di Jalan SA Maulana. Ada juga sate Abror di kilometer lima.
Warung makan yang masuk kelompok legend, sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Kalau dulu masih disebut sate Abror. Entah apa nama pemiliknya Pak Abror? Sekarang lebih populer dengan nama sate kilo lima.
Ada juga sebutan sate di Jalan Mangga Dua. Karena ada dua penjualnya, yang satu kalau disebut, sate depan Top Jaya. Satunya lagi, orang menyebut sate madura dekat perempatan Jalan H Isa II.
Dulu penjual sate itu belumlah banyak. Pencinta sate, hanya mengenal sate yang ada di kilometer lima nama yang dulu dikenal dengan Sate Abror. Lalu, belakangan muncullah penjual; sate seirng bertambahnya jumlah penduduk dan pencinta sate.
Kami bercerita tentang sate, saat makan bersama Pak Asiang. Sahabat saya yang dari dulu juga hobi makan. Kami memesan nasi goreng di warung Sunari di Jalan Gajah Mada. Dan, melengkapi dengan sate, belilah satu porsi sate kambing yang berjualan di Jalan Jend Sudirman depan Solo Mart.
Dulu belum banyak yang jual sate, apalagi sate kambing, kata Asiang. Bukan karena tidak ada peminatnya. Ngalih mencari kambingnya, daeng, kata Asiang adik dari Pak Oetomo Lianto.
Sekarang, sudah banyak yang jual kambing. Ada teman asal Madura, yang sama-sama makan nasi goreng, juga punya profesi yang sama. Jualan sate di Jalan Sudirman. Harga kambing itu yang mahal. Satu ekor mungkin hanya bisa dapat 11 kilogram dagingnya, kata dia.
Kami pun bercerita warung sate yang sudah ada sejak dulu. Penjual sate di Jalan SM Aminuddin. Walau berjualan di jalan itu, namun nama warung satenya tidak mengabadikan nama jalannya. Orang lebih mengenal sate Pak bola, kata Asiang.
Pak bola itu sudah almarhum. Dulu sopir yang dikenal sangat setia. Ia menyopiri ketika Pak Armyn dan Pak Arifin Saidi (dua-duanya almarhum). Walau seharusnya memasuki masa pensiun, Pak Bola masih tetap dipercaya jadi sopir.
Saya sempat mengenal beliau lebih dekat. Seing ngobrol di rumah dinas bupati, sambil membersihkan kendaraan. Waktu itu, mobil dinas bupati Toyota sedan. Jenis mobil besar seperti sekarang, belum diproduksi. Dan, bupati bila akan kunjungan, lebih sering menggunakan angkutan sungai atau laut.
Sejak jadi sopir bupati, di rumahnya di Jalan Aminudin, sudah membuka warung yang menyajikan sate dan soto. Yang jualan anak-anak beliau hingga sekarang. Termasuk nama, masih tetap mengabadikan nama sate Pak Bola. Kecuali ada yang bertanya dimana tempatnya,. Barulah disebut nama jalannya.
Ketika belum ada larangan mengonsumsi daging rusa (payau), di warung sate itu menyediakan sate Payau. Ini yang menjadi salah satu daya tarik. Menikmati sate Payau, hanya ada di warung Pak Bola. Sekarang, daftar menu sate payau sudah dicoret.
Sekarang tinggal sate ayam dengan irisan daging ayam yang cukup tebal. Hebat kalau mampu menghabiskan sepuluh cucuk (tusuk), kata Asiang. Saya sendiri kalau menikmati sate ayam di warung Pak Bola, hanya sanggup lima tusuk.
Sekarang, sudah banyak yang jualan sate ayam maupun sate kambing. Bahkan, salah satu jenis kuliner yang dulu langka, juga sudah mudah didapatkan. Yakni, sop kaki kambing. Mau menikmati segera saja ke Jalan Pulau Panjang.
Harus datang awal-awal daeng, kalau lambat bisa tidak kebagian, kata Asiang yang masih doyan makan sate kambing. Saya sudah pernah menikmati sop kaki kambing. Porsi sedikit saja. Maklum, kadang tersugesti dengan makanan dengan bahan daging kambing. (*/sam)
@cds_daengsikra