HANYA panik sehari. Tidak berhari-hari. Sekarang sudah kembali normal. Penjual eceran tidak lagi menggunakan botol, mesinnya sudah menyala.
Penjualnya senyum-senyum. Pembeli pun senyum-senyum pula. Tak perlu khawatir melakukan perjalanan panjang. Kalau di SPBU terlihat ada antrean, itu pemandangan keseharian di semua SPBU. Pengendara ingin mendapatkan harga yang sedikit lebih murah saja.
Bulan ini, ada dua topik yang melahirkan kegelisahan warga. Sebelumnya, kegelisahan ketika stok gas elpiji melon 3 kilogram berkurang di pasaran. Emak-emak kompak gelisah. Juga tidak berlangsung lama. Stok tersedia, kegelisahan pun berakhir.
BBM dan gas ini, dua komoditas yang bisa melumpuhkan. Dapur bisa lumpuh karena emak-emak tidak bisa memasak. Warung makan bisa tutup karena alasan operasional. Sementara BBM bisa membuat lebih parah lagi. Semua sendi kehidupan bisa berhenti bergerak.
Gas melon diangkut dengan kendaraan lewat darat. Teman saya yang agen gas, menyebut sebagian dikirim dari luar daerah. Sebagian lagi, ada tempat pengisian ulang. Persoalannya, kalau di tempat pengisian ulang, kekurangan bahan gasnya. Atau pasokannya ikut terlambat.
Begitupun dengan BBM. Pasokannya sangat bergantuang dari luar daerah, yang disimpan di Jobber yang ada di Kampung Samburakat. Dari tempat itu, lalu dengan armada mobil, didistribusikan ke semua pelosok.
Kita tentu bisa membayangkan dulu sebelum adanya penampungan sementara yang namanya Jobber. Disaat pasokan BBM dari Tarakan terganggu cuaca, muncullah gejolak. Kapal pengangkut BBM itu, biasanya langsung dipasok ke SPBU.
Jadi, apa masalahnya sehingga ada keterlambatan pasokan yang membuat warga gelisah selama satu hari. Kabarnya, kapal yang membawa BBM jenis pertalite itu, kandas di satu titik alur sungai. Beruntung kandasnya itu tidak berhari-hari.
Ada kapal kayu yang membawa beras dari Sulawesi, juga pernah mengalami hal tragis yang sama. Nahasnya, kapal kayu itu, setelah mengalami kandas, disusul dengan bocornya badan kapal. Kapal akhirnya tenggelam bersama muatannya.
Alur sungai Berau dari muara hingga mesuk ke sungai yang berbelok, dianggap rawan bagi angkutan sungai. Bagi yang berpengalaman melewati alur, mungkin tak jadi soal. Yang tidak berpengalaman itu yang bisa menimbulkan masalah.
Ada teman saya kapten kapal yang rutin melakukan pelayaran Tanjung Redeb ke Surabaya. Sebelum hadirnya kapal peti kemas seperti sekarang, masih dilayari kapal non peti kemas. Teman yang kapten kapal itu tubuhnya mungil bercambang. Ia sangat hapal alur sungai dari muara hingga sandar di pelabuhan.
Entah dimana dia sekarang. Sejak semua kebutuhan barang dari luar daerah dilayani kapal peti kemas, saya tak pernah lagi melihat teman saya yang brewok itu. Termasuk kapalnya sudah tak terlihat lagi sandar di pelabuhan. Bila tak salah dulu melayani perusahaan milik Pak Atai yang di Jalan SA Maulana. Mungkin sekarang rutenya ke Papua.
Kondisi cuaca yang ekstrem seperti sekarang, bisa saja debit air di sepanjang sungai Berau menjadi berkurang. Ini yang mengakibatkan, banyaknya titik yang dianggap rawan terjadi pendangkalan. Yang bisa menghambat alur pelayaran.
Mungkinkah harus dilakukan pengerukan? Itu memang yang jadi salah satu jawaban. Lalu lintas di sungai cukup padat. Kita bisa menghitung, berapa banyak tongkang pengangkut batu bara dan kapal yang membawa CPO. Kalau dua jenis angkutan ini mengalami kandas, akan lebih repot bagi perusahaannya. Kita juga repot mengisahkan. (*/sam)
@cds_daengsikra