PADAHAL sudah jualan tiga bisa mampir. Itu pun karena informasi teman. Sudah banyak yang mendahului.
Iya, saya baru tiga bulan jualan di sini, kata gadis berkulit hitam manis. Logat bahasanya menandakan daerah asalnya di Jawa Barat. Siapa yang mengajak ke Berau? Tanya saya. Ada saudara yang di Samarinda, meminta dia jualan di Berau saja, jawabnya.
Jualannya bukan baru. Sudah banyak yang sebelumnya berjualan yang sama. Jualan bubur Bandung.
Yang jualan sebelumnya bergerak dengan gerobak. Ada yang di Jalan Sudirman dan di banyak tempat. Si Teteh ini jualanya menetap.
Ia menyewa lahan kosong, milik rumah sebelahnya. Di situlah ia merintis jualannya yang sama dengan para pendahulunya. Bisa jadi mereka-mereka yang jualan bubur ini dari kampung yang sama di Jawa Barat.
Seperti halnya dengan warung tenda yang dulunya hanya di Jalan Antasari, kini sudah banyak dimana-mana. Saya pernah menelusuri, mereka itu berasal dari satu kampung di Jawa Timur. Kalau penjual Soto Lamongan, kan sudah jelas. Sama-sama dari Lamongan.
Ada lima pengunjung yang datang duluan. Saya pikir, sama-sama terlambat sarapan. Ada juga teman saya yang jualan mi di Jalan Panglima Batur, datang membeli dan dibungkus. Baru bangun, kata teman saya itu.
Lumayan lah. Bubur ayam atau Bubur Bandung. Saya tak perlu ke Jakarta bila rindu dengan penjual bubur ayam yang jualan di belakang kantor pusat Berau Coal di sekitar Sarinah. Yang jualan di depan warung pandang. Baru tiga bulan, sudah lumayan laris, kata saya dalam hati.
Sebetulnya saya mau mengajak beberapa teman yang ASN. Mereka tak bisa ikut bergabung dengan berbagai alasan kesibukan. Ada yang sibuk, setiap hari melakukan zoom meeting dari kegiatan diklat penjenjangan. Padahal kalau mereka ikut, akan banyak yang dibahas sambil menikmati bubur buatan teteh.
Dari warung Bubur Bandung, saya dapat undangan lewat pesan WA. Diajak ke rumah Pak Aliang di pojok KFC. Undangan makan-makan lagi. Rupanya, istri Pak Aliang ulang tahun. Dirayakan sederhana di rumahnya. Ada tiga piring nasi tumpeng.
Saya hanya mencicipi mihun. Masih terasa kenyang Bubur Bandung. Tambah bikin kenyang lagi, menatap teteh si penjualnya. Banyak wartawan yang hadir memenuhi undangan makan siang itu.
Di rumah Pak Aliang tidak lama. Para wartawan harus buruburu ke dermaga wisata. Mengikuti rombongan wakil Bupati Gamalis, yang akan membuka diskusi pemuda terkait Blue Ekonomi di Pulau Maratua.
Sebetulnya, saya juga dapat undangan untuk hadir. Ada kesibukan lain. Ditambah lagi, Pak Agus Tantomo yang jadi salah seorang pembicara, mengirimkan video kondisi gelombang. Hehe, nyali jadi sedikit ciut.
Tapi menarik, gagasan anak muda untuk membahas salah satu yang memungkinkan Berau mendapat sumber pendapatan baru. Mirip-mirip dengan Carbon Trade yang sudah berhasil memberikan kontribusi kepada daerah.
Menjadikan Pak Agus sebagai pembicara, sudah sangat tepat. Saya sering menemani, jumpa dengan Pak Niko Barito, yang akan menjadikan Maratua sebagai destinasi wisata Internasional. Dari Pak Niko itu lah, muncul gagasan konsep ekonomi biru, dengan memelihara kondisi terumbu karang di sekitar Maratua.
Speedboat yang ditumpangi Pak Gamalis, sedikit terlambat. Gara-gara menunggu salah seorang anak buah yang belum tiba di dermaga dan akhirnya ditinggal. Ini juga yang perlu dipahami. Sebagai anak buah, bila ada seperti itu, setidaknya sudah harus siap sebelum pejabat datang. Jangan justru sebaliknya, bos yang menunggu anak buah. (*/sam) @cds_daengsikra