BUKAN hanya panitia hari jadi yang sibuk mempersiapkan festival bakar ikan. Tak kalah sibuknya, komunitas warung pojok pun akan menggelar hal yang sama.
Bedanya, tidak bergabung di tepian Jalan Pulau Derawan. Tetapi dilaksanakan sekitar warung pojok Jalan Niaga. Semua anggota sudah beurunan. Saling menyumbang. Ada yang menyiapkan perlengkapan bakar dan racikan bumbu.
Kita siapkan ikan yang baru sekali mati, kata Hendra. Maksudnya ikan yang akan ditutung
itu, benar-benar ikan segar dan menyehatkan. Itu menjadi syarat utama. Ikan sudah dipesan di salah satu agen di Jalan Milono.
Kegiatan itu tidak lain untuk menjaga keakraban dan silaturahmi sebagai sesama warga dan komunitas warung pojok. Kan moment itu sekali setahun. Setiap hari jadi saja. Kita makan ikan, biar sehat, ungkap Hendra.
Sementara di sepanjang Jalan Pulau Derawan, terlihat sudah ada catatan nomor berwarna kuning di aspal. Itu menandakan, pemegang nomor undian akan menempati tempat itu. Panitia menyediakan tenda dan arang. Kalau seperti tahun lalu, termasuk disediakan ikannya.
Terlepas dari rencana meriahnya festival bakar ikan dan gegap gempita peringatan hari jadi Kabupaten Berau dan Tanjung Redeb, ada rasa pesimistis dari Pak Edi Tanah Air. Keluhan itu sebetulnya sudah diungkapkan pada pertemuan kami pekan lalu.
Kemarin, di Jalan Niaga, diucapkan lagi. Bagaimana kondisi para pengusaha yang tinggal di sepanjang Jalan Ahmad Yani. Kalau di Teluk Bayur disebut kota tua, maka di Jalan Ahmad Yani ini adalah miniatur kota tua.
Rumah kayu sepajang sisi jalan itu, ditempati oleh generasi ketiga dari warga Tionghoa. Mereka tetap berjualan sudah sejak lama.
Tapi kata Pak Edi, perkembangan teknologi informasi dan semakin majunya perekonomian, para pedagang itu mulai kehilangan pembeli. Dapat satu juta rupiah sehari sudah sangat bersyukur, kata dia.
Memang ada pergerakan wilayah belanja. Kalau dulu pusatnya di tepian Ahmad Yani. Sekarang sudah tersebar di banyak tempat. Mungkin ini salah satu penyebab, kurangnya konsumen yang berbelanja di kota tua tepian Ahmad Yani.
Terus, bagaimana jalan keluarnya? Tanya saya. Pak Edi hanya ketawa. Membalikkan usaha tidak semudah yang dibayangkan. Mencari bisnis baru kan susah, Pak Daeng, kata Edi. Jadi, mereka hanya menikmati situasi yang ada sekarang.
Saya menyarankan, karena sudah menyebut kota tua. Sebaiknya bangunan yang berkonstruksi kayu di sepanjang Ahmad Yani, tak usah diganti dengan bangunan permanen. Cukup mengubah warna catnya saja. Biar tetap kelihatan, bahwa deretan rumah itu punya cerita tersendiri dalam perjalanan Kabupaten Berau.
Sebagai tokoh Tionghoa, ia merasa bangga menjadi bagian dari warga Berau. Ia lupa, generasi keberapa dari keluarga besarnya. Saya justru banyak keluarga yang dulu menetap di Pulau Balikukup, kata dia.
Besok (hari ini, red) ia akan menghadiri undangan hari jadi di Lapangan Pemuda. Setiap perayaan, dia tak pernah ketinggalan untuk hadir. Syukurlah, kami ini masih diingat, katanya sambil tertawa.
Umbul-umbul warna kuning berjejer di sepanjang jalan utama. Ada tulisan, Ulang Tahun ke-70 Kabupaten Berau dan ke-213 Kota Tanjung Redeb. Begitu pun hiasan di tribune Lapangan Pemuda dan halaman kantor DPRD di Sei Buluh.
Saya juga mendapatkan undangan di dua lokasi itu. Kami tidak janjian untuk berangkat bersama Pak Edi. Biar datang sendirisendiri saja. Saya biasanya duduk di jejeran kursi belakang.
Bulan September ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, kota-kota di Kalimantan Timur dan Kaltara, bergantian merayakan ulang tahun daerahnya. Ada kesamaan sebutan. Kalau di Kukar itu namanya perayaannya Erau. Digunakan sejak lama.
Di Kabupaten Malinau juga menggelar festival Irau. Bila tak salah di Bulungan juga mengusung nama Birau. Berau juga awalnya atas kesepakatan para tokoh, dipakailah nama Irau. Tapi, tak satu pun kata Irau itu terlihat baik di undangan maupun spanduk dan baliho. Mungkin ada kesepakatan, Irau digunakan pada perayaan lainnya. (*/sam)