Putraputri asal Bumi Batiwkakal tak berhenti mengukir prestasi, seperti halnya Aji Devy Faziya yang meraih juara 3 lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Mataram, Mataram.
ANGGORO FADJAR SUSENO, Samarinda
DALAM menjuarai ajang bergengsi itu, Devy tidak sendiri. Gadis kelahiran 26 Desember 2002 itu membuat karya ilmiah untuk diperlombakan bersama dua rekannya yakni Rosiana Las Asina Siahaan dan Sinar Aynul Rahma, yang juga tengah menjalani program sarjana di Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Di kompetisi itu, Devy dan rekannya membuat karya tulis ilmiah dengan judul, Paradigma Generasi Z Dalam Upaya Mereduksi Dampak Global Warming dengan Carbon Pricing. Mereka bersaing dengan 10 finalis, yang di antaranya mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII), Sleman, Yogyakarta.
Devy mengaku, awal mula mengikuti ajang itu sebenarnya hanya iseng, mengingat dia dan rekan-rekannya saat ini memiliki waktu lowong yang cukup panjang. Meski begitu, dalam pengerjaannya mereka sangat serius, pemikiran yang dituangkan merupakan gagasan-gagasan unggulan ketiganya.
“Sebetulnya kami mencari kegiatan juga karena sedang libur, kebetulan ada info tersebut kami akhirnya memutuskan ikut,” paparnya.
Karya tulis yang Devy cs buat, mengambil sudut pandang Generasi Z, anak-anak kelahiran antara tahun 1997 hingga Tahun 2012 atau lahir di antara akhir abad 20 dan awal abad 21, tentang bagaimana optimalisasi pengendalian produksi emisi karbon dan mengenakan harga terhadap emisi yang dihasilkan oleh entitas tertentu.
Jelasnya, Carbon Pricing adalah pembahasan bagaimana perdagangan emisi karbon dan pengutipan nilai pajak dari terhadap karbon yang dihasilkan. Dalam karya tulis ilmiahnya, Devy membeberkan terdapat beberapa indikator penting agar gagasan ini berjalan dengan baik, yaitu komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi karbon, transparansi dalam penyediaan informasi, serta fleksibilitas yang merupakan upaya untuk menjaga harga kuota karbon.
“Selain itu juga, kredibilitas terhadap pemantauan dan laporan serta verifikasi atas jumlah emisi yang dilepaskan,” tuturnya.
Lanjut diceritakannya, bagaimana proses jalannya perlombaan usai timnya masuk dalam jajaran top 10. Dia bersama kedua rekannya akhirnya terbang menuju Universitas Mataram di Kota Mararam, Nusa Tenggara Barat. Seluruh biaya dan akomodasi perjalanan ditanggung kampus, ketiga orang itu hanya perlu membawa pikiran yang 'segar' dan kesiapan mental untuk memaparkan buah pikirannya di depan dewan juri.
Saat mempresentasikannya, ketiganya mengaku sangat gugup, meski materi yang akan disajikan sudah mereka kuasainya cukup baik. “Tetap grogi, degdegan. Tapi, kami satu sama lain tetap menguatkan. Apalagi dosen pembimbing kami juga ikut memberikan semangat. Saya jadi tenang, meskipun masih grogi sedikit,” ungkap Devy disertai tawa kecilnya.
Sambungnya juga, dalam kompetisi itu mereka juga mengaku cukup beruntung, karena saat peserta sudah mengerucut pada 10 besar, rupanya terdapat dua peserta mengundurkan diri, yakni dari Universitas Airlangga, Surabaya, dan Universitas Indonesia, Depok.
Bagi Devy, kemenangan ini pun cukup istimewa, karena pengumuman dilakukan bertepatan dengan hari jadi ke-70 Kabupaten Berau dan ke-213 Kota Tanjung Redeb, Jumat (15/9) lalu. Karena itu, perolehan itu juga pihaknya persembahkan sebagai kado bagi Bumi Batiwkakal.
"Hal ini juga sebagai bukti, anak daerah tak kalah dalam hal pengetahuan. Ilmu bukan barang susah lagi, tak seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, ilmu mampu diraih oleh siapa pun. Asalkan ada kemauan dan tekad diiringi keseriusan dan keuletan, kesuksesan akan mengekor," sebutnya.
Devy juga menyampaikan, untuk mengaktifkan gagasan ini, diperlukan dengan indikator yang dipaparkannya. Komitmen pemerintah jadi satu instrumen penting. Sebab, program ini melibatkan banyak pihak. Setiap individu punya kepentingannya sendiri. Ini menjadi pekerjaan rumah bersama, sehingga penanganannya juga harus bersama-sama. (sam)