SAYA singkat saja nama teman jadi AW. Nama aslinya tidak terlalu panjang. Hanya dua kata. Rasanya lebih gaul dengan sebutan AW saja.
Dia mantan Pj Sekkab Berau, namanya Agus Wahyudi. Pejabat karier yang lahir dan dibesarkan di Teluk Bayur. Sering berbincang di warung kopi milik Pak Desmus di Jalan Mangga II. Titik pertemuan yang mengasyikkan.
Karena biasa jumpa di warung kopi, kemarin ketemu di Jalan Murjani. Lagi-lagi warung kopi pula. Saya tidak berdua, bersama AW ada ketua Bapelitbang Bu Reni, ada Mas Rudini dari Berau Coal, dan teman-teman Dinas Pariwisata sebagai pengundang.
Pertemuannya berlangsung dua jam lebih, dan fokus memikirkan bagaimana pengembangan Teluk Bayur sebagai satu kota tua. Bagaimana menjadikan kota tua itu sebagai salah satu destinasi wisata yang lengkap.
Sejarah penambangan Batu Bara di Berau, itu bermula dari Teluk Bayur. Karena yang garap Belanda lewat perusahaannya, tak ada penambangan terbuka, semua dilakukan ramah lingkungan. Inilah yang dibahas.
Pak AW, sebagai salah seorang tokoh muda asal Teluk Bayur. Ia tahu, bagaimana perjalanannya. Baik yang ia lihat sendiri, maupun berdasarkan dokumen dan cerita lisan yang pernah terlibat dalam kegiatan penambangan.
Saya hanya melengkapi apa yang diceritakan AW, sesuai pengalaman saya bergaul dengan banyak tokoh. Teluk Bayur itu lebih dahulu hadir dibanding Tanjung Redeb, sehingga bila kembali berbicara soal kota tua itu, setidaknya mengembalikan masa kejayaan itu.
Banyak sisa peninggalan pasca tambang milik perusahaan Belanda, baik dalam bentuk bangunan yang masih kokoh berdiri. Bangunan yang bisa jadi pengantar cerita bagi siapa pun yang akan membahas soal perjalanan tambang Batu Bara di Berau.
Warga Teluk Bayur lebih awal menikmati air bersih yang berkualitas. Teluk Bayur lebih dulu terang benderang. Teluk Bayur lebih dulu punya layanan kesehatan yang bagus. Karena kegiatan tambang inilah, warga Tionghoa yang datang memilih Teluk Bayur sebagai tempatnya menetap.
Teluk Bayur itulah yang tengah dipikirkan oleh Dinas Pariwisata. Rumah bola yang konon berawal dari nama ball room, sudah dipoles. Bangunan tua dengan konstruksi Belanda itu menyimpan cerita tersendiri. Nanti kita akan jadikan museum Batu Bara, kata Bu Samsiah, dari Dispar.
Teluk Bayur punya lapangan bola yang juga berfungsi sebagai alun-alun keluarga besar karyawan perusahaan tambang. Lapangan dimana kesebelasan Ajax Belanda pernah merumput di situ. Itulah paket yang tengah dipikirkan Dispar bersama banyak stakeholder.
Saya hanya menyumbang pikiran saja, Pak AW pun demikian. Yang diharapkan terlibat adalah perusahaan pertambangan batu bara yang beroperasi dalam kawasan Teluk Bayur. Perusahaan wajib memberikan dukungan terwujudnya rencana itu.
Kata AW, setidaknya kita harus punya alasan bagaimana menahan wisatawan sebelum kembali ke kampungnya. Kalau kita tahan wisatawan itu mau diajak kemana? Yang bisa memberikan kesan.
Salah satunya kata AW, kita harus jadikan Teluk Bayur sebagai daya tarik. Miriplah dengan perusahaan tambang Batu Bara di Muara Enim, Sumatera Selatan, setelah tambangnya selesai. Ada sejarah yang tersimpan di situ. Ada cerita yang bisa menambah wawasan bagi siapa saja. Bukan hanya setelah menikmati Cenil dan gado-gado.
Kalau kita dan semua perusahaan serius kata AW, rencana itu akan terwujud. IKN sebentar lagi akan ditempati. Sebagai penyangga, harus benar-benar siap. Siap wisata baharinya. Siap pula wisata sejarahnya. Termasuk sejarah perjalanan penambangan batu bara.
Setelah acara selesai. Pak AW bisik-bisik dengan saya. Ia ada rencana membuat resor di atas laut sekitar Semanting. Konsep resornya adalah bagan tancap yang lengkap dan bisa diinapi wisatawan, kalau konsep itu saya tertarik. Menarik itu bos, kata saya. (*/sam)
@cds_daengsikra