Setiap berkunjung ke Belanda, guru besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unair Purnawan Basundoro selalu menyempatkan mampir untuk membaca beragam koleksi buku di perpustakaan Leiden. Baginya, perpustakaan itu merupakan jendela Indonesia, khususnya Surabaya, di Belanda.
AZAMI RAMADHAN, Surabaya
SUDAH tiga kali Purnawan Basundoro berkunjung ke Kota Leiden, Belanda. Dia sudah hafal beberapa ikon kota yang berjarak 11,877 km dengan Surabaya itu. Misalnya, gerbang Kota Leiden Morsch Poort. Gerbang itu berdiri sejak 1669. Setiap berkunjung dia selalu menyempatkan mendatangi perpustakaan Leiden.
Tak sekadar berkunjung. Purnawan juga memiliki misi selama berada di Leiden. Yaitu, membangun jaringan. Pada kunjungan ketiganya ke Leiden, usahanya mulai membuahkan hasil.
Pada Oktober 2023 ini, dia ke Leiden selama 10 hari untuk menghadiri undangan International Institute for Asian Studies (IIAS). Saat berada di perpustakaan, Purnawan bertemu dengan beberapa orang penting. Di antaranya, produser film Miron Ashkenazy dari Miron Production.
Pertemuan singkat itu, menurut dia, sungguh berkesan. Sebab, keduanya berencana membuat film dokumenter tentang 10 November. ”Nanti mitra pembuatan filmnya bersama FIB Unair. Rencananya, satu bulan dia ada di Surabaya,” ungkapnya.
Film tersebut mengangkat tiga perspektif perayaan. Mulai perspektif masyarakat Indonesia, masyarakat Inggris, dan Belanda dalam melihat insiden 10 November itu. ”Semoga ini jadi awal yang baik,” imbuhnya.
Selain itu, dia juga bertemu dengan Freek Colombijn, seorang antropolog dari Departemen Sosial dan Antropologi Budaya Vrije University Amsterdam. Pertemuan antarakademisi itu membahas banyak hal. Mereka sepakat memperkuat jalinan kerja sama riset. ”Dia punya perhatian untuk budaya dan sejarah Kota Surabaya,” imbuhnya.
Salah satu bahasannya adalah tentang perkembangan kota dan sungai. Lebih khusus, perspektif soal keberadaan sungai dan kebudayaan di kota berkembang. ”Semua ini berawal dari perpustakaan. Di sana ada banyak hal, termasuk jaringan,” tuturnya.
Kali pertama dia ke Leiden pada 2005. Saat itu, dia menjadi delegasi dalam konferensi sejarah kota yang diadakan KITLV bekerja sama dengan NIOD. Konferensi itu berjalan 10 hari.
Kunjungan kedua pada 2009–2010. Selama empat bulan Purnawan tinggal di Leiden untuk menyelesaikan disertasinya. Setiap hari dia berkunjung ke gedung KITLV untuk mencari referensi dan memenuhi kebutuhan penelitiannya. ”Sampai kenal dan petugasnya hafal sama saya,” ucapnya.
Purnawan memanfaatkan waktu empat bulan di Leiden untuk mengeksplorasi dan membangun jaringan. Terlebih lagi tentang ilmu pengetahuan sejarah. Sebab, perpustakaan di Leiden menyimpan banyak dokumen apa pun tentang Indonesia. Tak terkecuali Surabaya.
”Sistem di sana juga memudahkan para peneliti. Di perpustakaan KITLV itu kami bisa memesan buku melalui online, maksimal 10 jenis,” jelasnya.
Setelah memesan, lalu tiba di perpustakaan, petugas lantas memberikan boks berisi buku yang dipesan. Jika 10 buku sudah tuntas dibaca, pengunjung dapat memesan 10 buku lagi dan langsung diantar oleh petugas perpustakaan. ”Seperti pesan makanan,” imbuhnya.
Menurut dia, kantor KITLV saat ini terlihat lebih sepi. Sebab, perpustakaan KITLV yang dulu menempati gedung utama telah dipindah ke Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteits Bibliotheek Leiden). (*/c6/aph/sam)