Oleh Mappasikra M
PEMBAYARAN non tunai dan soal gabung Kaltara jadi tema obrolan di warung pojok. Dua-duanya menarik. Saya hanya pendengar setia saja. Repot daeng, kata teman yang datang berbaju batik. Harusnya ada pilihan. Kalau punya aplikasi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS), tak masalah. Yang tidak punya aplikasi harus dipikirkan jua.
Bagus saja menempatkan QRIS sebagai pembayaran non tunai, atau jenis uang elektronik lainnya. Perlu juga, pihak pengelola Bandara Kalimarau menyediakan pembayaran tunai agar tidak terjadi antrean panjang di pintu keluar bandara. Karena tidak punya aplikasi, kata dia, terpaksa menelepon temannya yang bekerja di bandara minta dijemput di pintu masuk, sementara mobilnya diparkir di luar, masuk dibonceng naik motor ke terminal. Repotkan jadinya, kata dia sambil tersenyum-senyum.
Saya mau meniru cara teman saya itu bila ke bandara, telepon genggam tak ada aplikasi QRIS, minta jemput juga, lama-lama kenalan yang bekerja di bandara muyak jua. Memang perlu dipikirkan, dihadirkan pembayaran tunai dan non tunai.
Cerita lain soal ajakan untuk bergabung dengan Kaltara. Pengunjung warung pojok sudah punya bekal cerita sekitar ajakan masuk Kaltara. Kan itu cerita lama yang terus berulang diulang.
Ada tim lobi yang diterjunkan Kaltara untuk membujuk-bujuk Berau lewat survei ikut bersama-sama saja dengan Kaltara. Mengajak ke Kaltara, sama dengan meninggalkan Kalimantan Timur. Oh tunggu dulu, seperti yang diucapkan Ketua DPRD Madri Pani, pada Berau Post, edisi hari Kamis (9/10).
Saya sedikit tahu perjalanannya. Bahwa awal ajakan gabung dengan Kaltara, hanya untuk melengkapi pembentukan provinsi baru yang kala itu kekurangan satu. Almarhum Soehartono Soecipto, Agus Tantomo, dan Syaiful Teteng, memberikan gambaran untung rugi bila Berau memilih pisah dengan Kaltim. Kucuran dana sekitar ratusan miliar tiap tahun akan terhenti. Sementara waktu itu, Berau sedang perlu-perlunya dana membangun daerah. Kalau gabung dengan Kaltara (saat itu) tidak bisa berharap banyak. Makanya dibentuklah Kecamatan Tana Tidung menjadi satu kabupaten untuk melengkapi, maka jadilan Provinsi Kaltara.
Awal ajakan itu dibahas di Pulau Derawan. Saya iseng saja menyebut putaran Derawan. Semua bupati di Kaltara bertemu. Bergantian setiap pertemuan, pertemuan berikutnya di Kaltara. Hasilnya, Berau bersama Kaltim. Walau ada tawaran khusus, bisa tapi Berau jadi ibukota.
Memang ada survei. Hasilnya itu yang dipertanyakan oleh Madri Pani. Katanya 70 persen warga Berau setuju gabung ke Kaltara. Untuk kondisi sekarang ini, Berau nampaknya masih sangat sulit melepas dan meninggalkan Kaltim.
Apalagi perkembangan terkini ada IKN yang dampaknya akan terasa hingga ke Kabupaten Berau bersama 10 kabupaten kota lainnya. Pak Isran Noor, saat menjabat sebagai Gubernur Kaltim, selama lima tahun banyak dana yang mengalir ke Berau. Purunkah meninggalkan Kaltim, kata dia.
Itu baru urusan pembagian anggaran pembangunan. Kalau pindah ke Kaltara, sebanyak itu juakah yang bisa diperoleh? Pernah terdengar, kalau Berau gabung dengan Kaltara, sumber pendapatan yang dihasilkan Berau tidak akan diganggu. Apa yang disampaikan Madri Pani, tak jauh beda dengan alasan yang disampaikan almarhum Soehartono Soecipto, Agus Tantomo, dan Syaiful Teteng waktu itu. Kalaupun ada survei, akan sangat dihargai sebagai upaya memperkuat argumen ajakan itu.
Semua berpulang pada masyarakat. Seperti kata orang banjar, handak atau kadanya tergantung warga haja. Kalau memang bulat mau bergabung, ayo ramai-ramai kita behangkut. Kalau setengah-setengah haja, lebih baik tetap bersama Kaltim. Kaina, ada haja tuh. (*/sam)
@cds_daengsikra